KOMPAS.com – Ramadhan, yang merupakan bulan kesembilan dalam kalender Hijriah, memiliki tempat spesial di hati umat Islam di seluruh dunia.
Di bulan inilah umat Islam diwajibkan untuk berpuasa selama satu bulan penuh dan dianjurkan untuk memperbanyak ibadah serta sedekah karena terdapat banyak keberkahan di dalamnya.
Puasa Ramadhan diwajibkan kepada umat Islam sejak 1.400 tahun lalu.
Sejak itu, umat Islam melaksanakan puasa Ramadhan dan berbagai tradisi pun muncul seiring penyebaran Islam ke seluruh dunia.
Bagaimana sejarah Ramadhan di berbagai negara? Simak suasana Ramadhan di peradaban Islam kuno berikut ini.
Baca juga: Bagaimana Nabi Menentukan Awal Puasa Ramadhan?
Ramadhan di Era Nabi Muhammad
Perintah untuk wajib berpuasa di bulan Ramadhan diterima oleh Nabi Muhammad pada bulan Sya’ban tahun 2 Hijriah, atau sekitar tahun 624 Masehi.
Puasa selama bulan Ramadhan diwajibkan untuk menumbuhkan iman, disiplin diri, dan empati bagi mereka yang kurang beruntung di antara sesama Muslim.
Puasa menjadi salah satu dari lima rukun Islam. Umat Muslim akan berpuasa dari fajar hingga terbenam matahari, dan malamnya diisi dengan salat Tarawih.
Ketika berbuka, umat Islam biasanya mengikuti anjuran Nabi Muhammad untuk membatalkan puasa dengan minum air dan memakan kurma.
Pada masa itu, umat Islam sudah memiliki tradisi berbagi makanan, di samping memperbanyak sedekah dan membayar zakat, untuk memperbanyak pahala di bulan Ramadhan.
Ramadhan di Era Khulafaur Rasyidin
Seiring penyebaran Islam ke luar Jazirah Arab sepeninggal Nabi Muhammad pada tahun 632, tradisi Ramadhan pun berkembang.
Baca juga: Sejarah Singkat Khulafaur Rasyidin
Kekhalifahan Islam awal, yakni Khulafaur Rasyidin (632-661), Kekhalifahan Umayyah (661-750), dan Abbasiyah (750-1258) memainkan peran penting dalam membentuk praktik dan tradisi Ramadhan.
Periode ini menandai perluasan yang signifikan, baik secara teritorial maupun budaya, yang memengaruhi cara Ramadhan dirayakan di berbagai wilayah.
Di Era Khulafaur Rasyidin, para sahabat Nabi Muhammad, yang merasakan langsung tentang hari-hari awal Ramadhan, menekankan pentingnya puasa, salat berjemaah, dan bersedekah.
Kesederhanaan dan fokus spiritual Ramadhan yang dijalankan selama masa Nabi dipertahankan, dengan penekanan kuat pada pembacaan dan tafsir Al Quran.
Ramadhan di Kekhalifahan Umayyah
Pemerintahan Kekhalifahan Umayyah dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Damaskus (Suriah) dan periode Andalusia (Spanyol).
Periode Damaskus dimulai dari tahun 661 hingga 750, sedangkan periode Andalusia berlangsung dari tahun 756 hingga 1031.
Kekhalifahan Umayyah menyaksikan pengaruh Islam berkembang secara luas, yang kemudian membawa budaya dan tradisi baru ke dalamnya.
Baca juga: Sejarah Bani Umayyah di Damaskus dan Andalusia
Era ini menandai meluasnya praktik salat Tarawih berjemaah dan munculnta tradisi memasang lentera saat Ramadhan.
Tradisi berbuka puasa dan sahur pun berkembang pula, dengan tersedianya berbagai jenis makanan, yang mencerminkan beragamnya budaya kuliner kekalifahan yang tengah berkembang hingga ke Andalusia.
Ramadhan di Kekhalifahan Abbasiyah
Periode Kekalifahan Abbasiyah sering disebut sebagai zaman keemasan Islam, yang ditandai dengan kemajuan signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan filsafat.
Selama Ramadhan, para cendekiawan dan penyair era Abbasiyah berkumpul untuk membahas masalah agama dan filsafat, yang memperkaya suasana spiritual di bulan suci.
Di era ini muncul tradisi Muktadir, atau buka puasa bersama, di mana para penguasa akan menyelenggarakan jamuan mewah untuk masyarakat umum, guna menumbuhkan rasa kebersamaan dan solidaritas.
Baca juga: Masa Kejayaan Dinasti Abbasiyah
Tradisi Ramadhan di Turki Utsmani
Kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Turki Utsmani, menandai era Ramadhan dirayakan dengan kemegahan dan semangat kebersamaan yang lebih terasa.
Dengan wilayah yang membentang di Eropa, Asia, dan Afrika, Kekaisaran Ottoman menghadirkan kekayaan budaya dalam perayaan bulan Ramadhan.
Para Sultan Ottoman memainkan peran sebagai pemimpin politik dan spiritual selama perayaan Ramadhan.
Mereka sering memimpin salat Tarawih, yang memperkuat pentingnya ibadah sunah selama bulan suci.
Tradisi lampu Mahya, yang melambangkan cahaya Islam, di mana masjid dihiasi dengan ayat-ayat yang menyala di antara menara-menaranya, menjadi ciri khas Ramadhan di era Ottoman.
Salah satu tradisi dari era Ottoman yang paling bertahan lama adalah tradisi membangunkan sahur.
Para penabuh genderang Ramadhan menyusuri jalan-jalan untuk membangunkan orang-orang untuk sahur.
Baca juga: Tradisi Ramadhan di Zaman Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat
Ibu kota kekaisaran yang terletak di Istanbul, menjadi pusat keramaian malam Ramadhan, di mana ada pasar, pembacaan Al Quran di depan umum, hingga pertemuan-pertemuan Sufi yang menarik orang-orang dari semua lapisan masyarakat.
Anjuran untuk beramal dari zaman Nabi masih sangat ditekankan pada masa Ottoman.
Para sultan dan orang-orang kaya membiayai buka puasa bersama untuk memberi makan ribuan orang, termasuk para pelancong, orang miskin, dan pelajar.
Praktik ini tidak hanya memperkuat aspek kesejahteraan sosial Ramadhan, tetapi juga menumbuhkan rasa kebersamaan yang kuat di antara penduduk Kekaisaran Ottoman yang beragam.
Tradisi Ramadhan yang dipelihara dan diciptakan di era Kekaisaran Ottoman pun meninggalkan warisan abadi yang terus memengaruhi perayaan bulan suci di masa kini.