AKBP Bintoro Memeras atau Terima Suap, Mana yang Benar?

JAKARTA, KOMPAS.com – Kasus dugaan pemerasan yang melibatkan mantan Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, AKBP Bintoro, terhadap pelaku pembunuhan dan pelecehan seksual, Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartoyo, terus berkembang.

Kasus ini juga menyeret beberapa pihak lain, yaitu mantan Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, AKBP Gogo Galesung, serta dua anggota Resmob Polres Metro Jakarta Selatan berinisial Z dan ND.

Kini, keempat anggota polisi tersebut telah menjalani penempatan khusus (patsus) di Bidang Propam Polda Metro Jaya sejak 25 Januari 2025.

Baca juga: Siapa Pihak Lain yang Terseret Kasus Dugaan Pemerasan AKBP Bintoro?

Dugaan pemerasan atau suap?

Kasus ini bermula dari gugatan perdata Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartoyo terhadap AKBP Bintoro serta beberapa pihak lainnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 30/Pdt.G/2025/PN JKT.SEL.

Dalam gugatan itu, AKBP Bintoro diduga meminta sejumlah uang kepada keluarga Arif dengan imbalan penghentian kasus pembunuhan dan pelecehan yang menjeratnya.

Setelah kasus ini terungkap, Kepala Bidang Propam Polda Metro, Kombes Pol Radjo Alriadi Harahap, menyatakan ada keterlibatan pihak lain dalam perkara ini.

“Kami juga telah melakukan klarifikasi terhadap korban (Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartoyo) dan menemukan dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus ini,” ujar Radjo, Rabu (29/1/2025).

Baca juga: Sahli Kapolri Sebut AKBP Bintoro Terima Suap, Bukan Pemerasan

Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima laporan dari kuasa hukum Arif Nugroho, Pahala Manurung, pada 27 Januari 2025.

Arif melaporkan mantan kuasa hukumnya, Evelin Dohar Hutagalung, atas dugaan penipuan dan pencucian uang terkait hasil penjualan mobil Lamborghini miliknya.

Evelin sebelumnya disebut meminta Arif menjual mobilnya untuk mengurus kasus yang menjeratnya.

Namun, setelah mobil itu terjual, uang sebesar Rp 3,5 miliar yang dijanjikan tidak kunjung diterima oleh Arif.

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menyatakan bahwa berdasarkan informasi yang diterima pihaknya, Evelin berjanji menyerahkan hasil penjualan mobil tersebut kepada AKBP Bintoro sebagai “uang pelicin”.

Namun, Sugeng menegaskan bahwa berdasarkan data yang diperoleh IPW, AKBP Bintoro hanya menerima Rp 140 juta untuk menangguhkan penahanan Arif.

“Bukan Rp 20 miliar, bukan Rp 17 miliar, bukan Rp 5 miliar, (tapi) hanya Rp 140 juta untuk penangguhan penahanan,” kata Sugeng.

Baca juga: Pembunuh ABG Laporkan Eks Kuasa Hukumnya, Diduga Terlibat Kasus AKBP Bintoro

Staf Ahli Kapolri: ini suap

Staf Ahli Kapolri, Aryanto Sutadi, menilai bahwa kasus yang menjerat AKBP Bintoro lebih tepat disebut sebagai suap, bukan pemerasan.

“Saya dapat keterangan dari Polda bahwa itu ternyata kasusnya lebih tepat disebut penyuapan,” ujar Aryanto, dikutip dari Kompas TV.

Menurutnya, Bintoro diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai Kasat Reskrim dengan menerima sejumlah uang dari tersangka.

Kasus ini sendiri sempat mandek sejak April 2024, sebelum akhirnya kembali berjalan setelah Bintoro dipindahkan dari jabatannya.

“Dari situ baru terungkap bahwa kasusnya dahulu sempat ditunda-tunda. Kemudian, setelah diambil alih dan yang bersangkutan dipindahkan, kasus diteruskan ke kejaksaan,” jelas Aryanto.

Ia juga menegaskan bahwa kasus ini lebih mengarah pada suap karena melibatkan kesepakatan antara dua pihak.

Baca juga: AKBP Bintoro Dinilai Menyalahgunakan Wewenang Saat Jabat Kasat Reskrim Polres Jaksel

“Kalau pemerasan itu satu pihak. Misalnya, penyidik bilang, ‘Kamu bayar segini, kalau tidak, saya kirim berkasnya’,” kata Aryanto.

Harus ada transparansi

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISES), Bambang Rukminto, menilai bahwa kasus ini perlu diselidiki secara transparan agar masyarakat mendapatkan kejelasan.

“Pihak yang memberikan uang, ini korban dalam hal ini. Kalau ini dikatakan pemerasan, tentu pihak tersebut adalah korban. Ini bisa melaporkan ke kepolisian juga,” ujar Bambang.

Namun, ia juga mengkhawatirkan apakah kepolisian bisa bersikap objektif dalam menangani kasus ini.

Baca juga: Propam Polda Metro: Ada Keterlibatan Pihak Lain dalam Kasus Pemerasan AKBP Bintoro

“Makanya harus ada pihak eksternal. Dalam hal ini bisa saja Kompolnas masuk di sini. Karena kasus seperti ini sangat banyak, hanya beberapa yang berani speak up,” kata Bambang.

Bambang juga menyoroti kurangnya sistem kontrol dalam tubuh kepolisian.

“Kalau tidak ada perbaikan dalam sistem kontrol, ini akan terus terulang,” tegasnya.

Menurut Bambang, kepolisian seharusnya membangun sistem informasi penyelidikan yang transparan agar masyarakat bisa melihat perkembangan sebuah kasus.

“Kalau tidak, yang muncul seperti saat ini, masyarakat tidak bisa mengontrol. Akhirnya muncul transaksi-transaksi haram seperti ini. Ada yang menyuap, ada yang memeras,” ujar Bambang.

Ia menegaskan bahwa baik suap maupun pemerasan adalah tindak pidana yang harus diusut secara transparan.

“Penyelidikan kasus ini harus dibuka seluas mungkin. Aliran uang harus ditelusuri, dan pihak korban harus memberikan bukti yang kuat,” pungkasnya.

Baca juga: AKBP Bintoro Segera Disidang Etik Terkait Kasus Dugaan Pemerasan

Kasus ini masih menyisakan banyak pertanyaan. Pemerasan atau suap, keduanya tetap merupakan pelanggaran hukum. Transparansi dan keadilan menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *