Tak Menua Bersama dan Hikmah Menikah Zigzag

Cerita jomlo barangkali tak ada yang lebih idealis selain ceritaku. 

Bukan bermaksud menyombongkan diri tentang idealisme, tetapi justru hendak berbagi bahwa pada kondisi tertentu idealis itu ternyata menimbulkan kesusahan pada akhirnya.

Bayangkan, 43 tahun menanti dan mencari cinta sejati, belahan jiwa atau setidaknya menemukan pasangan yang dimulai dari rasa saling mencintai tak jua ditemukan. 

Sebab ternyata cinta tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak segampang membuang air liur. 

Cinta sepertinya adalah sebuah kata yang paling diidamkan, mudah diucapkan, dicari-cari dan sulit dilupakan oleh sejumlah besar manusia. 

Tak jarang pula sering diperdebatkan ketika dihadapkan pada realita pertanyaan lebih mendahulukan mana saat seseorang diberi pilihan antara cinta atau harta? 

Memang tidak serupa dengan pertanyaan lebih dulu mana ayam atau telur, pilihan cinta atau harta mudah sekali terbaca arahnya jika dibanding mencari jawaban duluan ayam atau telur. 

Kebenaran cinta sangat rentan diuji ketika dihadapkan pada harta, tahta dan hadirnya wanita/pria lain yang lebih unggul.

Hingga ujungnya bertarung dengan waktu. Inilah alasan kenapa orang sering kali mengatakan, ‘biarlah waktu yang berbicara’.

Tetapi pencarian cinta bukan sekadar idealitas atau realitas. Ia adalah bentuk lain dari upaya meraih suatu hubungan timbal balik dua insan berlainan jenis 

Yang dianggap murni dengan tidak memandang harta, tahta atau wanita/pria dalam konteks wajah dan fisik yang dinilai cantik/tampan dengan tubuh ideal atau sempurna secara penampilan raut muka dan raga. Unconditional love bahasa kerennya. 

Dan faktanya meski diidam-idamkan, mudah diucapkankan kemudian dicari hingga ke berbagai ruang dan waktu, ternyata sulit diraih. 

Di titik itulah kerap kali tiba di beranda otak para pecundang cinta sebuah kalimat motivasi yang mengharu biru ‘cinta tidak harus memiliki’…ah ndasmu! 

Ups maaf! Ini rasa kesal terhadap orang yang suka sok memotivasi padahal dia sendiri terjerembab dalam hal percintaan. Gagal berkali-kali. 

Lalu buktinya, sampai usia lebih dari kepala empat, jangankan cinta sejati, cinta monyet saja tak pernah mampu dihadirkan oleh kalimat-kalimat motivasi. 

Puncak kegagalan membuatku mulai teringat lagi kata-kata semangat dari orang-orang mengenai jomblo sejati, jojoba atau jomlo-jomlo bahagia. 

Kali lain menyemangati diri dengan single-ku ini pilihan. Bukan berarti tak laris lalu jomlo, menua, kesepian dan berujung nestapa. 

Tapi tetap saja kok ternyata semangat-semangat itu terdengar bull shit! Saat dikonfrontasi dengan kondisi batin yang sebenarnya.      

Sampai suatu hari datang kalimat mencerahkan ‘semua akan indah pada waktunya’, yang kurasakan ada benar dan tidaknya. 

Benar ketika kehadirannya terasa indah. Ibarat tengah berwisata ke sebuah telaga jernih dengan tarian air terjun, sejuk udara, hijau dedaunan, dan…tiba-tiba terima berita duka yang membuat semua itu harus berlalu sebelum sempat merasakan sempurna. 

Kemudian tidak benar karena waktu indahnya tak tepat lagi. Terlambat sudah. Banyak yang telah lewat yang tak lagi bisa dilalui bersama ketika akhirnya Tuhan mengirimkan dia. 

Seorang gadis yang tak pernah kuduga atau sengaja kucari apalagi kutuju dengan berbekal rasa cinta yang nyaris pupus seiring asa yang hampir mampus, menerima pinanganku saat semua harapan sebentar lagi beku.   

Beda usia kami 23 tahun. Status jomloku berakhir sudah. Kami menikah tanpa cinta pada awalnya. Uniknya, walaupun tanpa cinta, tak seperti stigma orang-orang, aku dipilih bukan karena memiliki harta. Dia mengiyakan bukan lantaran kemapanan. Bagiku takdir baik saja sedang berpihak. Baginya barangkali cobaan baru saja dipijak.

Menikah zigzag nyatanya tak sesulit pencarian tetapi menjalaninya tak semudah bayangan. Perbedaan usia timpang menjadikan segala kebiasaan, kesukaan, pola pikir, karakateristik generasi, visi, misi dan tujuan hidup sangat jauh dari keselarasan. 

Untuk semua perbedaan yang kami punya, dia hanya sering kali mengatakan dan menuliskan sebuah kalimat pendek “tak menua bersama”. Logisnya, perbedaan usia kami memang tak membuat keriput kulit, ompong gigi, putih rambut, rabun mata dan keropos tulang bersamaan meskipun soal panjang usia Tuhan yang menentukan. 

Namun dibalik kalimat “tak menua bersama” ada hikmah yang tak banyak orang alami kecuali mereka yang menikah zigzag. Sebuah pernikahan yang diputuskan dan terjadi setelah menempuh hambatan berliku karena adanya ketimpangan perbedaan atas status sosial, ekonomi, etnis, suku, ras, agama, budaya, intelektualitas, usia, wajah dan fisik. Hikmah yang dapat diambil dalam pernikahan zigzag dengan ketimpangan beda usia antara lain:

1. Rasa syukur yang sungguh dirasakan langsung atas nikmat dan berkah yang diberikan olehNya sesudah pencarian dan perjalanan panjang melelahkan setelah tindakan rasional dalam menjemput cinta yang tak membuahkan hasil. 

2. Ketimpangan emosional yang erat kaitannya dengan kedewasaan sikap dan pengalaman hidup menjadi bekal utama dalam mengarahkan ke mana arah tujuan membangun rumah tangga. Di sini kedewasaan menjadi perisai paling ampuh untuk menangkis senjata apa pun yang bersifat merusak.    

3. Mengetahui, menerima, berupaya mengerti, memahami dan masuk ke dalam perbedaan karakteristik antar generasi agar saling menyelami dan menggunakannya sebagai penyeimbang untuk mencegah perbedaan-perbedaan menjadi pecah dan melahirkan konflik tanpa penyelesaian.   

4. Belajar mengalah, belajar beribu kali sabar , belajar ikhlas, belajar untuk kembali ke masa lalu, melihat ulang jejak-jejak diri sendiri dari masa ke masa ke setiap tahun bertambahnya usia. Refleksi diri mengenai sudah dihabiskan untuk apa atas usia yang telah Tuhan berikan selama masih sendiri (jomlo).

5. Secara otomatis dan perlahan menurunkan egoisme, keinginan atas nafsu dunia, lebih bisa fokus ke tujuan, membuat benteng diri terhadap godaan menjadi lebih kuat, dan memupuk diri menjadi orang yang tampak jauh lebih kuat beratus-ratus kali sekalipun faktanya rapuh.    

6. Lebih bisa menghargai waktu, tenaga, pikiran dan orang-orang di sekitar serta menumbuhkan semangat juang untuk sanggup mempersembahkan sesuatu yang berharga bagi keluarga. Berjuan tanpa peduli fisik sedang menahan sakit, mental sedang turun drastis atau situasi dan kondisi penuh ketidakpastian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *