MATARAM, KOMPAS.com – Sejumlah karyawan Hotel Grand Legi Mataram mengadukan nasib mereka ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB, Senin (17/2/2025) setelah di-PHK massal oleh perusahaan tempat mereka bekerja.
Bahkan, mereka mengaku di-PHK secara lisan tanpa kejelasan pesangon dan hak-hak mereka sebagai karyawan.
Kepada wartawan, Silahudin, perwakilan puluhan korban PHK tersebut mengatakan, mereka mengadu ke Disnaker mengenai perlakuan perusahaan terhadap karyawan yang di PHK.
“Kami adalah korban PHK sepihak yang disampaikan secara lisan oleh Hotel Grand Legi Mataram di Jalan Sriwijaya Mataram. Saya katakan sepihak karena memang tidak ada komunikasi tentang PHK itu,” kata Silahudin.
Dia mengatakan, tidak ada pemberitahuan sebelumnya mengenai PHK ini.
Baca juga: Manfaat JKP Naik Jadi 60 Persen, Menaker Bantah Indikasikan PHK Bakal Makin Tinggi
Mereka dikumpulkan, dan karyawan lainnya hanya menerima informasi dari kepala divisi masing-masing tentang PHK yang dijatuhkan pada mereka.
Silahudin mengatakan, alasan perusahaan melakukan PHK terhadap puluhan karyawan yakni karena hotel akan tutup akibat merugi serta alasan sumber daya manusia (SDM) yang sudah ketinggalan zaman dan dianggap sebagai salah satu penyebab utama hotel merugi.
“Alasan kedua itu membuat kami secara psikis merasa malu dan agak emosi karena SDM yang sudah tua-tua, karena memang secara industri hospitality katanya sudah tidak layak untuk itu,” katanya.
Menurutnya, selama ini seluruh karyawan telah bekerja maksimal, tidak ada keluhan dari pelanggan karena mereka bekerja sesuai standar hospitality yang telah dilaksanakan dari semua lini, mulai dari keamanan, frontline, dan lainnya.
Silahudin dan beberapa pekerja telah bekerja selama 27-30 tahun di Grand Legi.
Mereka memiliki sejarah panjang mengandalkan hidup di Grand Legi. Namun, setelah pemilik Grand Legi, Anita Ahmad meninggal dunia, hotel tidak beroperasi dengan baik.
Namun, aktivitas melayani tamu masih dilakukan hingga akhir tahun setelah mereka di-PHK massal pada 31 Desember 2024.
“Meskipun secara akuntansi kami tidak paham angka-angka, tetapi kami melihat pertumbuhan hotel tersebut. Dari awalnya hanya dibuka beberapa kamar, bisa nambah kamar, itu sebenarnya indikasi hotel tersebut berkembang,” kata Silahudin.
Baca juga: Spanduk Demo Indonesia Gelap: Anaknya Makan Gratis, Orangtua Di-PHK
Bahkan, presiden dan mantan presiden RI serta para menteri memilih Grand Legi sebagai tempat mereka menginap, termasuk mantan pelatih Timnas Alfred Riedl, yang pernah menginap di sana.
Tuntutan mereka tidak muluk-muluk, sesuai dengan apa yang diatur oleh negara, yaitu pesangon sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35/2021 yang diatur sesuai dengan UU Cipta Kerja.
Dalam PP 35/2021 diatur terkait pesangon, paling kecil 1 kali gaji dan paling besar 9 kali gaji, dengan besaran pesangon yang berbeda-beda disesuaikan dengan masa kerja.
Mereka juga menanyakan dan meminta bantuan Pengawas Disnakertrans NTB terkait dengan BPJS Kesehatan mereka yang terkunci dan tidak bisa digunakan karena PHK tersebut.
Mereka meminta penjelasan tentang bagaimana mengaktifkan kembali BPJS Kesehatan mereka.
Mereka juga meminta penjelasan dan bantuan tentang bagaimana mereka bisa memperoleh service charge yang tidak pernah dibayar sejak 2020 hingga mereka di-PHK pada 2024.
“Service charge itu adalah hak kami, karena itu memang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 7 Tahun 2016. Jadi, kami tidak asal menuntut apa yang kami tuntut itu karena memang aturannya jelas tentang pesangon dan masa kerja,” kata Silahudin.
Menurut dia, service charge yang menjadi salah satu tuntutan mereka itu merupakan hak karyawan. Perusahaan hanya menghitung service charge karena memang dibayarkan oleh tamu.
Mereka menerima service charge terakhir pada Februari 2020.
Silahudin menyebut, service charge dihitung Rp 500.000 per bulan.
Saat bekerja di Hotel Grand Legi, Silahudin menempati posisi Training Manager dan telah bekerja selama 27 tahun di hotel Legi di Kota Mataram itu.
Tak terkait efisiensi
Terkait dengan ramainya soal efisiensi anggaran yang diserukan pemerintahan Prabowo, Silahudin mengatakan itu tidak terkait dengan PHK yang mereka alami karena PHK terjadi pada akhir Desember 2024.
Sementara itu, Sekretaris Grand Legi Hotel, Atika membenarkan bahwa hotel tidak beroperasi lagi alias tutup sejak 31 Desember 2024.
“Benar, hotel sudah tidak beroperasi lagi,” katanya.
Ditanya terkait tuntutan 47 karyawan yang di-PHK secara lisan tersebut, Atika tidak bisa memberi penjelasan.
“Maaf, saya belum bisa jawab, karena bukan kapasitas saya menjawab,” katanya.
Kadisnakertrans NTB, Gede Aryadi mengatakan bahwa pihaknya hanya menerima pengaduan dan permohonan tim pengawas terkait service charge yang belum dibayarkan.
Baca juga: Bayang-bayang PHK Massal akibat Okupansi Hotel Merosot Imbas Efisiensi Anggaran
Untuk kasus PHK yang mereka hadapi saat ini, ditangani sepenuhnya oleh Disnaker Kota Mataram.
Gede mengatakan bahwa sejak meninggalnya pemilik Grand Legi, belum ada kejelasan siapa ahli waris dari hotel tersebut dan itu harus dicek ke notaris.
Tentu hotel juga memiliki jajaran direksi yang bisa ditanya terkait PHK tersebut.
“Saya menyarankan pada Disnaker Kota Mataram untuk mengecek kejelasan tersebut, termasuk jajaran Direksi, siapa wakil Direktur yang bertanggung jawab saat ini, sehingga jelas status karyawan yang mengadukan nasibnya tersebut. Jika di-PHK, di-PHK oleh siapa? Kan harus jelas,” kata Aryadi.
Kepala Disnaker Kota Mataram, Rudi Suryawan, yang dihubungi melalui telepon belum menjawab pertanyaan wartawan terkait PHK massal di Hotel Grand Legi Mataram.